Sejarah Kota Jakarta, ibu kota
negara, memiliki sejarah yang menarik. Banyak sekali aspek yang berbeda yang
mewarnai sejarah kota dan kehidupan manusia saat ini. Sejak abad kelima,
kapal-kapal dari China dan Champa (Vietnam), dan dari semua pulau di nusantara
berlabuh di mulut sungai Ciliwung.
Pedagang India dan Portugis juga
mengunjungi kota kecil ini. Pelaut Jawa, membawa rempah-rempah dari Maluku,
juga berlabuh di sana. Hampir semua orang dari Timur dan Barat meninggalkan
jalan mereka untuk memadukan cita rasa khas Jakarta.
Uraian yang telah disusun tentang
bangunan bersejarah dan monumen kuno mengacu pada situs di mana kota Jakarta
sendiri dimulai. Semua bukti sejarah menunjuk ke kawasan Kota, kota tua di
tepian sungai Ciliwung. Sedikitnya selatan tempat yang saat ini dikenal dengan
Pasar Ikan atau Pasar Ikan ini ditanam benih kecil pertama yang berkembang
menjadi kota besar yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Kapan Jakarta
memulai perjalanannya sepanjang sejarah? Tidak ada yang tahu persisJika kita
berdiri di atas Menara Syahbandar (Menara Pengawal) melintasi jembatan di atas
Kali Besar, kita menikmati pemandangan kawasan tertua di Jakarta. Di sebelah
utara kita bisa melihat pelabuhan tua ini dengan prahu berwarna-warni (perahu
pasir) dan Laut Jawa. Sekitar 300 meter ke selatan, Anda bisa menemukan
jembatan gantung tua yang sudah direnovasi. Pada masa penjajahan Belanda-India
Company, jembatan itu disebut Hoender pasarbrug atau Chicken Market Bridge.
Saat itu, antara 17 dan 18 awal, kapal bisa berlayar lebih jauh sampai ke
sungai Ciliwung. Menjelang selatan jembatan gantung ini, kota pelabuhan Sunda
Kelapa yang sibuk sekali sibuk terbentang di kedua sisi sungai antara abad
ke-12 dan ke-15.
Sunda Kalapa adalah pelabuhan
utama Kerajaan Sunda Hindu. Ibukota kerajaan Pakuan Pajajaran ini terletak dua
hari perjalanan ke hulu, yang sekarang dikenal dengan nama Bogor. Pelabuhan ini
sering dikunjungi oleh kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka,
Maccasar dan Madura, dan bahkan oleh pedagang dari India dan China Selatan.
Sunda Kelapa diekspor, antara lain barang, lada, nasi dan emas.
Pada tahun 1513 armada Eropa
pertama, empat kapal Portugis di bawah komando Alvin, tiba di Sunda Kelapa dari
Mallaca. Mallaca telah ditaklukkan dua tahun sebelumnya oleh Alfonso d
'Albuquerque. Mereka mencari rempah-rempah, terutama lada, ke pelabuhan yang
sibuk dan terorganisir ini. Beberapa tahun kemudian, Portugis Enrique Leme
mengunjungi Kalapa dengan hadiah untuk Raja Sunda. Dia diterima dengan baik dan
pada tanggal 21 Agustus 1522 dan menandatangani sebuah perjanjian pertemanan
antara kerajaan Sunda dan Portugal. Orang Portugis menerima hak untuk membangun
gudang kosong (gudang) dan mendirikan benteng di Kalapa. Hal ini dianggap oleh
orang Sunda sebagai konsolidasi posisi mereka melawan pasukan Muslim yang
melanggar dari meningkatnya kekuasaan Kesultanan Demak di Jawa Tengah.
Untuk memperingati perjanjian
ini, mereka menaruh batu besar, yang disebut Padrao, yang lenyap selama
beberapa tahun. Batu ini kemudian ditemukan pada tahun 1918 saat penggalian
sebuah rumah baru di kawasan Kota di sudut jalan Cengkeh dan Jalan Nelayan
Timur. Padrao ini sekarang bisa dilihat di Museum Nasional Jalan Medan Merdeka
Barat. Lokasi asli batu tersebut menunjukkan bahwa garis pantai pada awal abad
ke-16 membentuk garis yang hampir lurus yang ditandai dengan hadirnya jalan
Nelayan, sekitar 400 meter ke selatan menuju The Lookout Tower.
Raja Sunda memiliki alasan
sendiri untuk menghadapi bahaya besar dari Kerajaan Demak yang ekspansif, yang
pasukannya mengancam kota pelabuhan keduanya, Banten (sebelah barat Jakarta).
Sunda merasa terjepit dan membutuhkan teman yang kuat. Dengan demikian, raja
berharap Portugis akan segera kembali dan membantunya melindungi pelabuhan
pentingnya. Tapi mereka datang terlambat. Pada tahun 1527 pemimpin Muslim
Fatahillah hadir di hadapan Kalapa dengan 1.452 tentara dari Cirebon dan Demak.
Menurut beberapa sejarawan,
kemenangan tahun 1527 ini memberi alasan bagi Fatahillah untuk mengganti nama
Sunda Kelapa, Jayakarta, yang berarti "Akta Hebat" atau
"Kemenangan Lengkap." Atas dasar kemenangan ini, Jakarta merayakan
hari kelahirannya pada tanggal 22 Juni 1527, Pada hari Fatahillah memberi kota
ini sebuah nama kemenangan atas orang-orang Hindu Sunda dan pelaut Portugis.
Pangeran Jayawikarta, seorang
pengikut Sultan Banten, tinggal di tepi barat sungai Ciliwung, yang pada awal
abad ke-17 mencapai tempat di awal kami, Lookout di Pasar Ikan. Dia mendirikan
sebuah pos militer di sana untuk mengendalikan mulut sungai dan Belanda yang
telah diberi izin pada tahun 1610 untuk membangun rumah kayu dan beberapa rumah
tepat di seberang sana di tepi timur. Kapal-kapal Belanda telah tiba di
Jayakarta pada tahun 1596. Pangeran mencoba untuk terus mengawasi tamu-tamu
yang nakal ini.
Untuk menjaga kekuatannya sama
dengan yang dimiliki Belanda, Pangeran Jayawikarta membiarkan Inggris membangun
rumah-rumah di Tepi Barat sungai Ciliwung, melintasi tanah air Belanda, pada
tahun 1615. Pangeran tersebut memberikan izin kepada Inggris untuk mendirikan
sebuah benteng yang ditutup dengan Bea Cukai. Pos kantor Jayawikarta mendukung
Inggris karena istananya berada di bawah ancaman meriam Belanda. Pada bulan
Desember 1618, hubungan real estat antara Pangeran Jayawikarta dan Belanda
meningkat. Tentara Jayawikarta mengepung benteng Belanda yang mencakup dua
kerajaan yang kuat, yaitu Nassau dan Mauritus. Armada Inggris terdiri dari 15
kapal yang tiba. Armada tersebut berada di bawah kepemimpinan Sir Thomas Dale,
mantan gubernur Koloni Virginia, yang sekarang dikenal sebagai Negara Bagian
Virginia di Amerika Serikat.
Laksamana Inggris sudah tua dan
bimbang. Setelah pertempuran laut, gubernur Belanda yang baru diangkat Jan
Pieter Soon Coon (1618) melarikan diri ke Maluku untuk mencari dukungan.
Sementara itu, komandan tentara Belanda terdesak saat negosiasi sedang
berlangsung karena Jayawikarta merasa tertipu oleh Belanda. Kemudian, Pangeran
Jayawikarta dan Inggris menandatangani sebuah perjanjian persahabatan.
Tentara Belanda akan menyerah
kepada Inggris pada tahun 1619, seorang sultan dari Banten mengirim tentara dan
memanggil Pangeran Jayawikarta untuk membangun hubungan tertutup dengan Inggris
tanpa meminta persetujuan dari pihak berwenang Banten terlebih dahulu. Konflik
antara Banten dan Pangeran Jayawikarta serta tegangnya hubungan antara Banten
dan Inggris telah melemahkan musuh Belanda. Pangeran Jayawikarta dipindahkan ke
Tanara dan meninggal di Banten.
Belanda merasa lega dan berusaha
menjalin hubungan lebih dekat dengan Banten. Garnisun benteng Belanda, bersama
dengan tentara bayaran dari Jepang, Jerman, Scotia, Denmark, dan Belgia
mengadakan sebuah pesta untuk memperingati perubahan situasi. Mereka menamai
benteng mereka setelah Batavia mengingat kembali kelompok etnis Batavier,
leluhur Belanda. Sejak itu Jayakarta disebut Batavia lebih dari 300 tahun.
Di bawah hubungan JP Coen,
tentara Belanda menyerang dan menghancurkan kota dan Istana Jayakarta pada
tanggal 30 Mei 1619. Tidak ada sisa-sisa Jakarta kecuali batu Padrao yang
sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Makam Jayakarta mungkin
terletak di Pulau Gadung. Jika kita berdiri di atas Menara Syahbandar dan
melihat-lihat, kita bisa menikmati panorama indah di kawasan tertua Batavia.
Pastinya, kita tidak bisa menikmati sisa-sisa kota Sunda Kelapa atau Jayakarta.
Kasteel atau benteng Belanda juga hancur. Di sini kita bisa melihat beberapa
sisa dari pertengahan abad ke-17. Hampir semua jenazah terkait dengan
perdagangan dan pelayaran.
Menara Syahbandar dibangun tahun
1839 untuk menggantikan tiang bendera tua di dermaga kapal yang berada tepat di
sisi seberang sungai. Dari tiang dan kemudian menara, petugas kapal mencatat
akan jangkar memberi isyarat. Menara tersebut kemudian digunakan sebagai pos
meteorologi. Ke Barat Menara Lookout, kita bisa melihat pemandangan Museum
Bahari sekarang. Museum ini merupakan bangunan yang sangat tua dan kuat dengan
arsitektur Belanda. Museum ini juga menyediakan beberapa peta kota, dengan tahapan
perkembangan kota ditunjukkan. Museum adalah bagian dari sesuatu dalam bahasa
Belanda yang disebut Westzijdsche Pakhuizen (Gudang di Tepi Barat). Disini
pala, lada. Kopi, teh, dan kain dalam skala besar digunakan untuk disimpan.
Daerah sekitar Menara Syahbandar
dulunya merupakan pusat Kota Batavia. Itu adalah pusat jaringan perdagangan
dengan agen penyebaran luas yang mencapai Deshima (Nagasaki) di Jepang, Surate
in Persia dan Cape Town di Afrika Selatan. Inter-trade antar Asia lebih
menguntungkan daripada antar perdagangan antara Asia dan Eropa. Dan Pasar Ikan
(Pasar Ikan) dulu adalah denyut nadi. Di sini, tempat asal ibu kota Indonesia,
Jakarta, berasal.
0 Response to "Sejarah Kota Jakarta"
Post a Comment