Sejarah Kota Gorontalo

Sejarah Kota Gorontalo, Gorontalo Di Kerajaan Sebelum masa penjajahan Belanda abad ke-16, keadaan lokal Gorontalo membentuk monarki yang diatur oleh hukum adat konstitusional Gorontalo. Kerajaan bergabung dalam ikatan keluarga yang disebut "Pohalaa".
Secara etimologis wadah pohalaa adalah kesatuan keluarga, dengan pohalaa pemahaman lain adalah masyarakat hukum di kerajaan atau gabungan kerajaan yang terikat oleh kekerabatan, adat istiadat, kepercayaan, hukum adat, pemerintahan, dan masyarakat Gorontalo (Dama, 1993). Wilayah Gorontalo terdiri dari 5 Pohalaa, yaitu:
1. Pohalaa Gorontalo
2. Pohalaa Limboto
3. Pohalaa Bone (termasuk Suwawa dan Bintauna)
4. Pohalaa Bolango (tahun 1862 berganti nama menjadi Boalemo), dan
5. Pohalaa Atinggola

Raja pohalaa-pohalaa ditentukan oleh Baate Baate (pemangku kepentingan pribumi). Dari lima pohalaa yang menonjol adalah pohalaa Gorontalo dan pohalaa Limboto yang merupakan dua kerajaan terbesar. Subyek dibagi menjadi suku-suku (linula-linula yang kemudian disebut) dan dipimpin oleh seorang Olongia. Asal usul nama Gorontalo ada perbedaan pendapat dan penjelasan, antara lain:
Sebuah. Berasal dari Hulontalangio, nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi Hulontalo.
b. Berasal dari Hua Lolontalango yang berarti orang yang berjalan di jalur lalu lintas Gowa.
c. Hulutalangi yang berarti lebih mulia.
d. Lo Hulua Tola, yang berarti perkembangan gabus ikan.
e. Pongolatalo atau Pohulatalo yang berarti tempat untuk menunggu.
f. Gunung Telu yang berarti tiga gunung
g. Hunto yang berarti tempat yang selalu dibanjiri.

Jadi asal usul nama Gorontalo (artinya dia) sudah tidak diketahui lagi, namun jelas bahwa kata "Hulontalo" sampai sekarang masih hidup menurut perkataan Gorontalo dan oleh Belanda karena sulitnya mengatakan hal tersebut diucapkan dengan " Horontalo "dan bila ditulis ke" Gorontalo ".
Awal Berkenalan dengan Bangsa-Bangsa Barat

Kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Indonesia dimulai pada abad ke-16. Kedatangan mereka menarik rempah-rempah Indonesia, terutama rempah-rempah dari Maluku. Negara-negara Barat yang pertama kali datang ke Indonesia adalah orang Portugis yang berlayar dari Malaka pada tahun 1511. Orang Portugis itu berlayar dari Malaka ke Gresik (Jawa Timur) dan terus ke Maluku dimana bernaung rempah-rempah.

Orang Spanyol kemudian mengikuti tahun 1521, dengan dua kapal melalui Filipina, Kalimantan Utara, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Kedatangan orang-orang Spanyol menyebabkan perselisihan dengan Portugis, sehingga orang-orang Spanyol masih berlayar ke Maluku melalui sebuah kesepakatan dengan Portugal sampai tahun 1534, sehingga bebas untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah Portugis.

Selanjutnya, Belanda tiba di Indonesia (Banten) pada tahun 1596, kemudian dilanjutkan menuju Tuban dan berlayar ke Maluku. Di Maluku mereka siggah di Ternate dan Sultan Ternate menyambut kedatangan orang Belanda, karena Sultan Ternate bersikap bermusuhan dengan Portugis dan Spanyol (Tjandrasasmita, 1981/1982: 39).

Pada tahun 1607 kunjungan Belanda ke Sulawesi Utara dengan persetujuan Raja Ternate, karena Sulawesi Utara adalah bagian dari kekuasaannya. Belanda ditugaskan oleh Sultan Ternate untuk memberitahu semua orang yang berada di Manado Ternate kembali ke Ternate. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan orang Belanda menolak Bangsa Spanyol di Manado, Sulawesi Utara, yang datang ke Filipina.
Pada 1617 Spanyol mencoba menyebarkan agama Katolik di sekitar Danau Tondano, namun mendapat penolakan. Pada tahun 1643 elite lokal yang mengundang orang Belanda Protestan untuk meminta bantuan, dan sejak saat itu Belanda mulai membangun hegemoni. di Sulawesi Utara.

Gubernur Vernigde Oost-Indische Compagnie (VOC) memerintah di Ternate, Robert Padtrugge melintasi Sulawesi Utara menuju Kwandang (Gorontalo), menentukan tahun kontrak 1678 dan di sana dia memutuskan. Elit daerah Gorontalo dan Limboto tidak dapat dihindarinya saat Ternate menyerahkan haknya kepada VOC Limboto Gorontalo dan yang memiliki kewenangan luas tidak hanya dalam urusan perdagangan, bahkan sumber makanan utama termasuk jalur pasokan.

1727 Gubernur Robert Padtrugge menunjuk Peter Kokc sebagai perwakilan VOC di Gorontalo, ketika mulai mengganggu urusan pemerintahan kerajaan. Hal ini menyebabkan terganggunya struktur pemerintahan tradisional Gorontalo yang pada gilirannya menyebabkan dendam oleh penguasa asli yang pada akhirnya menimbulkan konflik, dipicu oleh pengenaan keinginan Belanda dalam mengkonsolidasikan posisinya di wilayah Gorontalo.

Intervensi dan Hegemoni Belanda
Pergantian politik pemerintah VOC ke Hindia Belanda pada pergantian abad ke-18 sampai abad ke-19, ditandai dengan kebangkrutan VOC yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kecurangan akuntansi, korupsi, lemahnya karyawan, sistem monopoli, dan sistem memaksa pihak berwenang. untuk membawa penurunan moral dan penderitaan penduduk.
Pada saat yang sama Holland memiliki dampak berbahaya dari perang melawan Inggris dalam memperoleh penguasaan perdagangan. Belanda sendiri berada di bawah pengaruh peraturan kekaisaran Prancis di bawah Napoleon.
Intervensi Belanda terhadap kehidupan politik pemerintah Gorontalo terlihat dalam surat Kepala Kantor Pusat Direktur Administrasi tanggal 6 Februari 1886 nomor 943 (dalam Joni Ibid, 2006: 45). Surat yang berisi bahwa raja-raja dan pejabat kerajaan Gubernemen mengakui hak Hindia Belanda dalam pemilihan dan penunjukan pengganti pengganti dalam posisi sebagai raja, bila ada kekosongan, sehingga tidak ada pegawai negara besar yang menggunakan gelar tersebut. jogugu, laut padrone, dan marsaoleh (tingkat kecamatan) akan diberhentikan atau dihapus tanpa persetujuan dan diterima baik oleh pemerintah. Mengurangi kebebasan politik pemerintah dan rakyatnya akibat intervensi langsung.

Intervensi terbukti ketika pemerintah Belanda menunjuk Raja Gauvernment di Gorontalo yang pada waktu itu ada dua raja yaitu King Gouvernment, bertanggung jawab untuk menjaga hubungan dengan Gubernemen dan King Negorij yang bertanggung jawab atas urusan dalam negeri. Pengankatan raja merupakan salah satu penyimpangan dari sistem birokrasi tradisional yang mencakup sistem konstitusi adat Gorontalo. Dampak dari isu-isu ini antara lain kekuasaan raja menjadi otoritas, rakyat tetap harus memiliki emas.
Situasi ini akhirnya membawa implikasi kelemahan dan bahkan kehilangan kerajaan persaudaraan hampir (pohalaa) di Gorontalo. Implikasi lain, orang-orang dalam kasus ini menjadi korban kekuatan sewenang-wenang dari marsaoleh. Faktor-faktor yang tidak mengenal kontrol penuh menjadi salah satu penyebab persaoalan ini. Pemotongan pajak (peledakan) dilakukan secara paksa oleh marsaoleh kepada orang-orang seperti yang terjadi di Batudaa pada tahun 1872, bahwa setiap penduduk harus membayar pajak pada individu dengan berbagai pasal, dan setiap bab memiliki nilai harga dari pajak yang berbeda, peraturan yang jelas adalah satu indikator dari kesewenang-wenangan kekuasaan yang kemudian memicu antipati publik terhadap pejabat penguasa saat itu.

Munculnya nasionalisme di Gorontalo
Nasionalisme adalah doktrin, perasaan, atau pemikiran politik yang didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat harus diatur dalam bentuk negara (negara-negara) dan negara-negara menjadi titik sentral kesetiaan individu dan kelompok (Riter, 1986: 294).
Kunci utama gerakan nasionalisme adalah keterlibatan inteligensia, di mana implikasi kehadiran intelektual berubah menjadi bumerang bagi sistem kolonial Belanda. Kesadaran mereka yang telah memperoleh pendidikan untuk memulai Babakan baru dalam perjuangan melawan penjajah mulai muncul di Gorontalo, dalam hal pengembangan berbagai gerakan organisasi yang dimulai sekitar tahun 1920-an baik dari organisasi ekspansi maupun pembangunan yang berbasis di Jawa dan sedang bermunculan. up di Gorontalo.
Munculnya berbagai ornganisasi sosio-politik di Gorontalo menunjukkan bahwa pada saat itu telah menempatkan kepentingan nasional sebagai mayor. Organisasi yang muncul di Gorontalo antara lain: Sinar Budi (SB), SI (SI), Muhammadiyah, Nahdatussyafiiyah, Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Arab Indonesia (PAI), Persatuan Islam (Persis), Gabungan Politik Indonesia Partai (GAPI), dan gerakan pemuda antara Jong Gorontalo, Jong Bond Islamiten (JIB), dan Pramuka Bangsa Indonesia (KBI).
Meninjau sejarah organisasi yang disebutkan di atas, organisasi SI pada tahun 1921 yang berubah menjadi partai SI (PSI) bernoda bentrok dengan alat pemerintah Belanda. Bentrokan terjadi di Masjid Jami '(sekarang Masjid Agung Baiturrahim Gorontalo), bentrokan yang terjadi pada tahun 1931 berasal dari ucapan tokoh PSI yang berbau politik dan dianggap menentang pelarangan peraturan kolonial Belanda yang telah ditentukan.

Partai Politik Bersama Indonesia yang didirikan pada tahun 1939, merupakan federasi baru yang ingin menunjukkan keinginan persatuan partai politik Indonesia yang mengaku memegang "parlemen penuh di Indonesia." Lima bulan setelah terbentuknya GAPI, pada bulan Oktober 1939 dalam bentuk GAPI Gorontalo dipimpin oleh Rekso Sumitro.
Aksi "Indonesia Berparlemen" dikhawatirkan oleh pemerintah Belanda, peringatan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, Welter mengatakan bahwa tindakan ini hanya akan menimbulkan kekecewaan. Meski aksi tersebut ditolak oleh Gubernur Jenderal, namun GAPI melanjutkan aksinya. Menurut GAPI dalam pertemuan yang digelar di Pure Cinema (sekarang toko), kebetulan salah satu anggota Koesno Danoepojo Welter mengatakan bahwa jawaban yang mengatakan Indonesia belum matang untuk berparlemen, bolehkah dia dalam keadaan "tidur" begitu saja. bahwa orang Indonesia mengatakan berparlementer yang belum matang (Massa, 2000: 8). Dalam pertemuan sebuah insiden oleh polisi pembubaran Couper yang saat itu mengawasi pertemuan tersebut, dalam perkembangan selanjutnya GAPI hati-hati karena adanya peringatan pemerintah.
Perjuangan Menuju Kemerdekaan

Perlawanan terhadap Belanda di Gorontalo pada tahun 1942 yang digerakkan oleh kelompok elit non-pemerintahan dengan rakyat sebagai pendukung, pada dasarnya didorong oleh faktor perkembangan situasi yang terjadi di Belanda serta situasi domestik di Hindia Belanda. . Serangan oleh Jerman pada tanggal 10 Mei 1940 yang berhasil melumpuhkan pusat kota Rotterdam, hasilnya pada tanggal 15 Mei, Belanda menyerah.

Kondisi ini membuat pemerintah kolonial Belanda di Gorontalo ditekan. Akbibatnya, langkah yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo mewujudkan kebijakan hangus bumi di sejumlah benda vital, seperti kopra gudang, pelabuhan, dan lain-lain. Dilakukan oleh pasukan Vernielingcorps, yaitu penghancur paksa yang terdiri dari pejabat dan komandan, Ass.Res menjadi (Massa, AL, 2000: 6). Jelas tindakan pasukan Vernielingcorps mendapat reaksi keras dari kalangan nasionalis dan masyarakat.

Dalam situasi seperti itu pada tanggal 10 Januari 1942, Nani Wartabone mengirim sebuah surat kepada Residen Ass Dancona Jagung dan pengontrol. Surat itu di dalamnya menjadi ancaman jika pemerintah Belanda masih melakukan pembongkaran, maka rakyat siap mengorganisir perlawanan.
Jumat malam 16 Januari 1942, kaum nasionalis terlibat secara rahasia untuk menghadapi tindakan Belanda. Mereka mengadakan pertemuan di rumah RM Koesno Danoepojo bersama para pemimpin rakyat, pertemuan tersebut berhasil berjuang membentuk badan yang disebut Komite Dua Belas, dengan ketua dan wakil Koesno Wartabone Nani.

Dua belas tugas Komite adalah untuk menjaga dan melindungi keselamatan orang dan daerah dari tindakan yang merugikan masyarakat kolonial. Dalam hal ini Koesno juga menginstruksikan anggota Komite Dua Belas untuk memobilisasi organisasi pemuda dan politik dan organisasi pemuda untuk bersama-sama berperang melawan penjajahan Belanda. Instruksi menunjukkan kesatuan sikap dan tindakan yang merupakan bagian dari strategi yang dirumuskan dalam panitia ini.
Di tengah konsolidasi dengan pemuda pada 19 Januari 1942, vernielingcorps kembali menggelar pembakaran, yang ditargetkan pelabuhan Gorontalo dan Kwandang. Akibat aksi ini sejumlah gudang, rumah, dan sebuah kapal bernama KM Kololio juga dibakar.

Dari pembakaran kedua menunjukkan bahwa sikap dan tindakan pemerintah kolonial Belanda tidak menanggapi surat ini Nani Wartabone pada tanggal 10 Januari 1942, sebagai konsekuensi logis yang harus diterima oleh Belanda adalah sebuah tantangan dan perlawanan rakyat.
Tanggal 22 Januari 1942 sampai tengah malam, masyarakat desa Suwawa, Kabila, Tamalate, dan desa lainnya ke pos komando berbasis di rumah RM Koesno dan juga dihadiri oleh anggota panitia dua belas. Pertemuan tersebut menyepakati tugas dan strategi yang terdiri dari empat bagian: pertama, pengendalian fasilitas seperti kantor pos, telegraf, telepon dan Gorontalo. Kedua, pelepasan tahanan politik Belanda. Ketiga, perawatan dan penerimaan para tahanan oleh orang-orang yang fokus di asrama Veldpolitie. Keempat, serangan dan penyergapan terhadap pejabat pemerintah kolonial Belanda (dilakukan oleh N. Wartabone dan Koesno).

Menjelang pukul 05.00, seluruh nasionalis dan kaum muda bergerak sesuai rencana, pendudukan Kantor Pos, Telegraf dan Telepon dapat dikendalikan oleh pasukan Ardani Ali dan rekan-rekannya. Nani Koesno Wartabone bersama-sama berhasil menguasai barak polisi Belanda, dan sementara itu juga melakukan penggerebekan terhadap pejabat pemerintah Belanda WC Roemer (Komandan Veldpolitie), Dancona, Komandan Polisi Kota (Hoofdagenat Stadpolitie), E. Couper, dan Ass Resident Beny Corn .
Pukul 07:00 pada tanggal 23 Januari 1942, gerakan pasukan orang dan komponen organisasi lainnya digabungkan dalam wadah Asosiasi Politik Indonesia (GAPI) dan telah menunjukkan kekuatan dan keuletan saat melakukan serangan terhadap pihak berwenang Belanda. Sisi lain di depan Kantor Pos RM Koesno Danoepojo menampilkan kain merah dan putih yang bertuliskan "Berparlemen Indonesia". Di tempat itu Koesno menyampaikan pidato kepada masyarakat Gorontalo bahwa semua orang Belanda telah ditangkap, jangan mencuri, dan merampok, untuk menjaga keamanan dan merampok siapa pun yang akan diberi hukuman berat,

Hal ini juga dipidatokan oleh N. Wartabone yang menegaskan siapa yang tidak "bersih" tidak boleh ikut campur, menyerukan keamanan yang ekstrem dengan tujuan menstabilkan kawasan Gorontalo. Seruan itu menghirup udara segar bagi semua orang di Gorontalo, sekaligus peringatan yang jelas bagi mereka yang melanggar hukum. Situasi damai dan kondisif sangat diperlukan, mengingat 'kekacauan' yang menciptakan Belanda telah menghancurkan segalanya.

Resistensi kolektif yang ditandai dengan adanya razia, penangkapan, dan penahanan terhadap Belanda merupakan kudeta yang berhasil menggulingkan pemerindahan kolonial di Afdeeling Gorontalo. Seperti dilansir Hasan Usman di brosur Gelora Revolution yang isinya:
"Ya, hari ini harus dicat dalam sejarah perjuangan kebangsaan Indonesia. Pada hari itu untuk pertama kalinya si Merah Putih berdiri tegak dan terang-terangan di tanah Indonesia, sebagai simbol pemerintahan yang bebas dan berdaulat. Dia berkibar-kibar di depan Kantor Pos, Asisten Resident di muka kediaman Corn, du face Kantor Polisi Kota, di asrama Veldpolitie, toko, pertokoan dan rumah. Selanjutnya, Nani Wartabone dan Koesno Danoepojo membantu seluruh rakyat Gorontalo untuk menangkap semua orang Belanda, juga perwakilan dari dunia perdagangan Belanda. Mereka semua ditangkap, keamanan melindungi sisa hidup mereka dalam penahanan "(Kementerian Penerangan, hal 204-205, di Apriyanto, 2006: 161).

Kesuksesan relatif memaksa orang-orang dalam penggulingan peraturan Belanda di Gorontalo, pukul 10.00 pada tanggal 23 Januari 1942, orang-orang dari seluruh wilayah datang ke alun-alun kota Afdeeling (sekarang Pemuda Lapangan), telah menghadiri pengibaran bendera Merah dan Putih. Nani Wartabone menyampaikan pidato kepada orang-orang:
"Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita orang Indonesia yang sudah di sini sudah mandiri, bebas dan bebas dari negara kolonial manapun. Bendera kami adalah Bendera Merah Putih, lagu kebangsaan kami adalah Indonesia Raya ?. Pemerintah Belanda telah diambil alih oleh pemerintah nasional. "
Dengan perjuangan rakyat Gorontalo melawan Belanda yang telah berlalu, itu membuat roda pemerintahan di Gorontalo kembali normal. Beberapa peristiwa setelah tanggal 23 Januari 1942 yaitu, instruksi pembentukan Stadswacht pada tanggal 24 Januari 1942, membentuk pasukan penjaga di samping kepolisian yang ada untuk melindungi daerah vital, seperti pelabuhan.
Perlawanan Nasionalis Gorontalo dan masyarakat Belanda, pada dasarnya merupakan akumulasi faktor pada periode sebelumnya dan kemudian nasionalis dan rakyat bereaksi sepenuhnya ditandai dengan penyergapan, penangkapan, dan penahanan sejumlah pejabat Belanda di Gorontalo

0 Response to "Sejarah Kota Gorontalo"

Post a Comment