PENDAHULUAN
|
Rupanya baru disadari lagi perlunya
pendidikan karakter setelah banyak
sekali permasalahan yang muncul
sebagai akibat rendahnya mutu ka-
|
rakter bangsa kita. Tomas Liekona, profesor pendidikan dari Cortland Univer-sity, (dikutip Juansyah.worldpress.com, /2012/07/29/(23/10/12/1043, mengung-kapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda itu sudah ada berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehan-curan. Dengan kata lain jika sepuluh tanda itu ada di Indonesia bersiap-siaplah Indonesia akan menuju jurang kehancuran. Kesepuluh tanda tersebut adalah (1) Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Ini relevan dengan pendidikan bahasa. Faktor laten yang mempengaruhi kekerasan di antaranya karena remaja kurang mendapat sentuhan emosi melalui pendidikan nilai, melalui pendidikan sastra, seni, dan musik. Komunikasi tidak lancar sehingga kepuasan dan kea-dilan tidak diperoleh, maka terjadilah perbuatan anarkhis. (2) Penggunaan baha-sa dan kata-kata yang memburuk. Apakah
ada semacam pembiaran atau kesengajaan
terhadap kecenderungan ini, peserta didik
lebih menghargai bahasa asing daripada
bahasa daerahnya, dan daripada bahasa
nasionalnya sendiri. (3) Tumbuhnya berbagai mafia yang kuat mempengaruhi tindak kekerasan dan penyelewengan. (4) Meningkatnya perilaku merusak diri seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. (6) Menurunnya etos kerja, tidak siap berkeri-ngat, pragmatisme dan konsumtif. (7) Semakin rendahnya rasa hormat peserta didik kepada orang tua dan gurunya. (8) Rendahnya rasa tanggungjawab indi-vidu sebagai warga negara. (9) Membudayanya sikap individualisme (10) Ada-nya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
|
Oleh karena itu rupanya, atas dasar kecenderungan ini perhatian terhadap pen-didikan karakter mejadi “ngetren” walaupun dinilai terlambat. Wacananya su-dah banyak diabadikan di berbagai media publik: televisi, majalah, surat kabar, bahkan dalam buku-buku pelajaran, dan yang khusus membahas tentang karak-ter dan pendidikan karakter. Judul-judul tesis mahasiswa pun dapat disebut latah dengan kata karakter, walaupun penjelasannya membingungkan. Tidak sedikit memang wacana tentang “pendidikan karakter”, namun belum ditemui jalan keluarnya jelas terukur, bagaimana pendidikan karakter dilakukan, atau diwujudkan dalam tindakan yang siste-
matis, rupanya baru berwacana tentang
“karakter itu apa”, jenisnya, kategorinya,
ciri-cirinya, sedangkan bagaimana wujud
pelaksanaannya sekadar saran teoretis.
Seperti kutipan berikut.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 disebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendi-dikan informal memberi peluang berkontribusi yang sangat besar dalam keber-hasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah formal ha-nya sekitar 7 jam perhari, kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat kuantitas waktu, pendidikan di sekolah formal berkontribusi hanya 30% mutu pendidikan.
Walaupun begitu, pendidikan informal dalam lingkungan keluarga masih belum memberikan efek yang berarti mendukung pencapaian kompetensi dan pemben-tukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang re-latif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkung-an keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pen-capaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi perma-salahan tersebut adalah melalui pendidikan nilai terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu direvitalisasi agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik. http://majalahsiantar. blogspot.com/2012/06/ memahami-pendidikan-karakter.html).
Pandangan demikian saja belum cukup memberikan petunjuk yang jelas ter-ukur, apa yang perlu dilakukan guru dalam kelas dan di luar kelas, belum jelas apa yang perlu dilakukan sekolah dan komite sekolah dalam membangun pen-dekatan sistem pendidikan mikro sekolah itu. Pendidikan perlu dilakukan se-cara sinerjik antara berbagai eksponen pendidik yang terlibat: guru, sekolah, komite sekolah, orang tua peserta didik, dan orang dewasa lainnya. Kekompak-an, kekonsistenan, pembiasaan dengan perlakuan yang terus menerus itulah hakikat pendidikan. Lagi pula pendidikan itu hakikatnya adalah pengembangan karakter. Pendidikan adalah memanusiakan manusia (Mungin EW). Depdiknas (Renstra 2004-2029) mengemban misi mewujudkan pendidikan yang mam-pu membangun insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif. Yang dimaksud cerdas komprehensif adalah keparipurnaan karakter, yaitu ke-cerdasan intelektual, psikososial, emosional, dan spiritual. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial kultural dapat dikelompok-kan dalam: olah hati, olah pikir, olah raga dan kinestetik, olah rasa dan karsa. Namun, pada hemat saya masih belum cukup, perlu pendidikan nilai suatu dimensi kemanusiaan yang sebenarnya telah terpatri dalam filsafat Pancasila, yaitu nilai manahan diri, suatu karakter yang imani dan disebut juga kecer-dasan kontrol atau strategi kognitif. (Ashman, A.F. & Conway, RNF. 1989, dalam Pannen, 2001). Tanpa kecerdasan kontrol segalanya bisa kebablasan.
|
PENDIDIKAN KARAKTER
Nampaknya terlihat adanya kebingungan terhadap ihwal pendidikan karakter. Terbaca dari berbagai wacana yang “pabaliut”, tidak konsisten, pendidikan ka-rakter atau pendidikan akhlak? Apa sajalah? Terutama dalam mengatasi perma-salahan yang muncul. Akan tetapi pokok permasalahan kini adalah permasa-lahan pendidikan. Terhadap bidang yang perlu saya kuasai ini saya merasa bingung. Pantas bingung karena otak saya sudah kaku.
Nah apa kaitannya dengan otak? Ternyata begitu ingat otak, lalu saya ingat juga neurologi, dan dikaitkan dengan bahasa teringat neurolinguistics. Ternyata ada kaitan antara sistem syaraf otak dengan pendidikan. Dalam proses pengem-bangan pengetahuan, pengembangan keterampilam dan sikap, serta apapun yang datang kemudian diproses dahulu oleh otak bagian luar yang berfungsi mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pembelajaran. lalu dengan upaya tertentu proses pendidikan terjadi mengendapkan ke otak bagian tengah yang berfungsi menyimpan informasi jangka panjang.
Menurut neurologi yang dikutip dari Barbara Clark (1983:17-40), otak kita yang berisi trilyunan simpul syaraf dan terbagi atas tiga lapis: atas, tengah, dan bawah. Lapis pertama disebut New Mammalian Brain yang volumenya 5/6 bagian, dan yang 1/6 lagi terdiri atas Old Mammalian Brain dan New Reptilian Brain. Bagian yang pertama berfungsi sebagai pengolah dan penyimpan infor-masi jangka pendek. Bagian yang kedua berfungsi sebagai penyimpan infor-masi jangka panjang, dan bagian yang ketiga berfungsi sebagai penggerak oto-matis seperti pertumbuhan dan refleks.
“Kata orang”, diduga dengan belajar bahasa, karakter peserta didik menjadi lebih baik. “Kata orang” lagi, diduga dengan pembelajaran bahasa Indonesia, tindakan kekerasan, tawuran, korupsi, akan menjadi berkurang. Ah, orang itu “macam-macam” saja. Yang jelas dengan pembelajaran bahasa di sekolah, pe-serta didik itu menjadi tahu bedanya antara kata-kata santun atau tidak, menge-tahui bahasa yang efektif dan yang tidak. Apakah dapat dijamin peserta didik yang baik bahasanya di sekolah, baik pula di rumah? Mestinya bisa. Jika orang-orang mampu menggunakan bahasa Indonesia secara efektif, alias mampu ber-komunikasi untuk mengatasi masalah, boleh jadi tidak akan terjadi kesalah-pahaman, dan tidak akan terjadi tindakan kekerasan, dsb.
Peserta didik telah dapat memperoleh kemampuan membaca, berbicara, dan menulis berbagai karya seperti cerpen, puisi, dan membut surat dan laporan karya ilmiah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Akan tetapi sudah menjadi rahasia umum: lain di sekolah lain di rumah, lain pula dalam pergaul-an. Bahkan bahasa pergaulan mereka dapat disebut “rusak-rusakan”. Itu kega-galan pendidikan, kegagalan pembinaan sikap, kegagalan pendidikan karakter.
Bagaimana sebenarnya pendidikan nilai itu? Konsep pendidikan nilai terbaca dalam rumusan yang telah disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP): Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi peserta didik, pengeta- huan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan hidup mandiri dan mengi-kuti pendidikan lebih lanjut. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru yang dapat mempengaruhi perilaku peserta didik. Guru mem-bantu pembentukan watak peserta didik. (Hafiy bin Syamsi (http://www.scribd. com/doc/77831396). Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.
Pendidikan karakter merupakan hal yang baru. Sekarang ini meskipun bukan suatu yang baru, penanaman nilai-nilai sebagai sebuah ciri karakter seseorang sudah berlangsung sejak dahulu kala. Akan tetapi, seiring dengan perubahan jaman, agaknya diperlukan penanaman kembali nilai-nilai tersebut ke dalam sebuah wadah kegiatan pendidikan di tiap pembelajaran. Penanaman nilai-nilai tersebut terkandung (embeded) dalam rencana dan pelaksanaan pembelajaran agar nilai-nilai karakter positif tercapai yang selama ini semakin memudar.
Setiap mata palajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan dalam pribadi peserta didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mata pelajaran yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda.
Distribusi penanaman nilai-nilai utama dalam tiap mata pelajaran dapat dilihat sebagai berikut.
- Pendidikan Agama: Nilai utama yang ditanamkan antara lain religius, jujur, santun, disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, meng-hargai keberagaman, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil.
- Pendidikan Kewarganegaraan: Nasionalis, patuh pada aturan sosial, jujur, demokratis, jujur, menghargai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain.
- Pendidikan Bahasa Indonesia: berfikir logis, kritis, kreatif dan inova-tif, percaya diri, bertanggungjawab, ingin tahu, santun, nasionalis.
- lmu Pengetahuan Sosial: nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir lo-gis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa wira-usaha, jujur, kerja keras.
- Ilmu Pengetahuan Alam: Ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan ino-vatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu.
- Bahasa Inggris: menghargai keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, bekerjasama, patuh pada aturan sosial.
- Seni Budaya: menghargai keberagaman, nasionalis, menghargai karya orang lain, ingin, jujur, disiplin, dan demokratis.
- Penjas orkes: mergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, kompetitif, sportif, mengahargai karya dan prestasi orang lain.
- TIK/Ketrampilan: merpikir logis, kritis, kreatif, inovatif, produktif, man-diri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain.
- Muatan Lokal: menghargai kebersamaan lokal, menghargai karya orang lain dan tumbuhnya rasa bangga lingkungan setempat,
Bagaimana kesemuanya itu diaplikasikan? Setiap nilai utama tersebut dapat di-wujudkan melalui kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi berbagai perilaku dan pengetahuan.
Pertama adalah Eksplorasi, antara lain dengan cara:
- Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas tentang topik /tema materi yang dipelajari dengan menerapkan prinsip belajar dari aneka sum-ber (nilai yang ditanamkan: mandiri, berfikir logis, kreatif, kerjasama)
- Menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain (nilai yang ditanamkan: kreatif, kerja keras)
- Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya (contoh nilai yang di-tanamkan: kerjasama, saling menghargai, peduli lingkungan)
- Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran (contoh nilai yang ditanamkan: rasa percaya diri, mandiri)
- Memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan (nilai yang ditanamkan: mandiri, kerjasama, kerja keras)
Kedua: Elaborasi, nilai-nilai yang ditanamkan seperti berikut.
- Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas tertentu yang bermakna (nilai yang ditanamkan: cinta ilmu, kreatif)
- Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis (nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis, saling menghargai, santun).
- Memberi kesempatan berpikir, menganalisis, mengatasi masalah, dan ber-tindak tanpa rasa takut (nilai yang ditanamkan: kreatif, percaya diri, kritis)
- Memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif (nilai yang ditanamkan: kerjasama, saling menghargai, tanggung jawab)
- Memfasilitasi peserta didik bersaing secara sehat untuk meningkatkan pres-tasi belajar, (nilai yang ditanamkan: jujur, disiplin, kerja keras, menghargai)
- Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual mau-pun kelompok (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling meng-hargai, mandiri, kerjasama)
- Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok (nilai yang ditanamkan: jujur, bertanggung jawab, percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
- Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, dan produk yang dihasilkan (contoh nilai yang ditanamkan: percaya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
- Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan ke-banggaan dan rasa percaya diri peserta didik (nilai yang ditanamkan: per-caya diri, saling menghargai, mandiri, kerjasama)
Ketiga adalah konfirmasi, nilai-nilainya antara lain:
- Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulis-an, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik (nilai yang ditanamkan: saling menghargai, percaya diri, santun, kritis, logis)
- Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi melalui berbagai sumber (nilai yang ditanamkan: percaya diri, logis, dan kritis)
- Memfasilitasi peserta didik menulis refleksi untuk mengendapkan penga-laman belajar yang telah dilakukan (nilai yang ditanamkan: menyadari kelebihan dan kekurangan)
- Memfasilitasi peserta didik untuk lebih jauh, lebih dalam, lebih luas mem-peroleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap, antara lain dengan guru:
- Berfungsi sebagai nara sumber dan fasilitator dalam menjawab pertanya an peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar (nilai yang ditanamkan: peduli, santun);
- membantu menyelesaikan masalah (nilai yang ditanamkan: peduli);
- Memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi (contoh nilai yang ditanamkan: kritis)
- Memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh (contoh nilai yang ditanamkan: cinta ilmu);
- Memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum ber-partisipasi aktif (nilai yang ditanamkan: peduli, percaya diri).
Pengembangan nilai inilah yang senantiasa diharapkan untuk menjadikan pe-serta didik lebih berahlak. Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai se-bagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mem-berikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Dalam konteks kehidupan bermasyararakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bah-wa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional perlu dimiliki peserta didik agar ia dapat mengha-dapi tantangan hidup baik sekarang maupun di masa mendatang,
Secara mikro pengembangan nilai-nilai karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan pembelajaran di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan kokurikuler atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat. Dalam kegiatan pembelajaran di kelas pengembangan nilai-nilai karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan integratif dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Pembelajaran Budaya dan Karakter Bangsa menggunakan pende-katan proses belajar peserta didik belajar aktif dan berpusat pada anak, di-lakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, sekolah, dan masyarakat. Di Kelas dilaksanakan melalui proses belajar setiap mata pelajaran atau kegiatan yang dirancang khusus. Setiap kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Tidak selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa. Meskipun demikian, pengembangan nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, disiplin, toleransi, jujur, mandiri, semangat juang, cinta tanah air, dan gemar membaca dapat dikembangkan melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Untuk pengembangan beberapa nilai lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya pengkon-disian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk membangun perilaku yang bernilai didik tersebut.
STRATEGI DAN MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
|
Apakah pembelajaran dan pendidikan? Apakah
strategi dan apakah model pembelajaran? Apakah
pendidikan bahasa Indonesia dan pembelajaran
bahasa Indonesia?
Paradigma didik: pendekatan, metode, teknik, dan kiat sudah lama dikenal, demikian juga dengan strategi dan model pembelajaran. Lalu, dipertanyakan apakah pembelajaran bahasa dapat menjadi wahana pendidikan karakter, seperti tema yang diajukan panitia. Padahal pembelajaran bahasa dibedakan dari pen-didikan bahasa. Saya menjadi bingung mengamatinya, atau karena saya yang “telmi”, mungkin saya yang ketinggalan jaman? Apakah karakter itu dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pendidikan. Nilai karakter apa saja yang dapat dikembangkan melalui pendidikan bahasa? Mungkin tidak perlu dihiraukan beragamnya penjelasan istilah karakter, tidak konsistennya pene-rapan pembelajaran bahasa atau belajar bahasa, dan pendidikan bahasa.
STRATEGI PEMBELAJARAN
Strategi dan Model Pembelajaran merupakan bentuk rancangan. Rancangan yang berbentuk suatu model berlaku khusus dan mempertimbangkan berbagai syarat, seperti karakteristik umum model, yang telah dijelaskan di muka. Ran-cangan berbentuk strategi berlaku umum, artinya dapat diterapkan untuk ber-bagai jenis bidang studi dan jenis kegiatan. Quantum Teaching adalah strategi karena berlaku umum. Strategi ini berkarakter kekompakan antara berbagai unsur kependidikan, segala pihak mendukung kompetensi dan nilai didik, symphonis. JAIKEM adalah singkatan sifat-sifat kegiatan, bahwa setiap pem-belajaran selalu dimulai dari apersepsi atau penjajakan kemampuan awal pe-serta didik (J), peserta didik perlu aktif (A), inovatif (I), dan kreatif (K), untuk mencapai tujuan belajar secara efektif (E) dalam suasana yang menye-nangkan (M). Strategi Portofolio merupakan strategi pembelajaran yang kegiatannya terfokus pada mengumpulkan berbagai dokumen bukti balajar tertulis, dapat juga disebut Strategi Serba Bukti. Strategi Portofolio ini sudah lama diuji- Peserta didik atau mahasiswa selalu menulis dan melaporkan setiap bukti kegi-
|
kegiatan belajarnya, di antaranya (1) bukti mengikuti belajar, di anataranya berupa catatan, (2) bukti menulis refleksi meng
ingat kembali informasi baru, (3) bukti perbaik
an catatan yang menunjukan perhatian pada pel
ajaran dan bermotivasi keunggulan. Catatan di
sempurnakan dengan berbagai sumber yang re-
(4) bukti perbaikan tugas dan berbagai hasil ujian, manakala tugas yang telah diberi masukan itu diperbaiki, dan (5) bukti dokumen kegiatan dan prestasi kegiatan lain. Misalnya mahasiswa sastra berperan di kampungnya sebagai panitia atau peserta kegiatan baca puisi. Dokumennya dilaporkan, diparaf fasili-tator dan dimasukan dalam bundel portofolio. Semua itu didokumentasikan menjadi bundel portofolio. Strategi ini ternyata dapat menunjukkan bahwa pembuatnya memiliki nilai-nilai didik berdisiplin, taat aturan, jujur, motivasi prestasi, produktif, perhatian pada pelajaran, bangga atas karyanya, kompetitif, dan kreatif. Dalam ujian atau tes dibolehkan membuka portofolio. Itu yang menarik sehingga peserta didik bersemangat menyusun portofolio.
MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
|
Sejak tahun 1991 sampai sekarang, dalam petatihan Pengembangan Keteram-pilan Dasar Teknik Instruksional (Pekerti), pendidikan nilai dalam struktur Model Pembelajaran Inovatif menjadi materi primadona dalam pelatihan itu bagi dosen yunior. Demikian juga model-model pembelajaran inovatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia, telah banyak dibahas dan dikembangkan baik oleh dosen maupun oleh mahasiswa strata magister. Penelitian eksperimen dan pengembangan telah banyak dilakukan. Bahkan dicoba diciptakan model-model baru yang berlandaskan persyaratannya yang baku. Karakteristik umum suatu model menjadi patokan untuk menciptakan model pembelajaran baru. Joyce & Well (2000) dalam Winataputra (2002)
mengelompokkan berbagai model yang
telah dirancang dan yang mungkin dapat
diciptakan menjadi empat kategori
sebagai berikut.
KATEGIRI MODEL:
(1) Kelompok Model Pengolahan Informasi (The Information Processing Family)
(2) Kelompok Model Personal (The Personal Family)
(3) Kelompok Model Sosial (The Social Family)
(4) Kelompok Model Sistem Perilaku (The Behavioral System Family)
Selanjutnya dikemukakan Winataputra (2005:4), setiap model dapat dijelaskan bagaimana orientasi karakteristiknya. Setiap kelompok model itu terdiri atas model-model yang lebih operasional. Walaupun begitu setiap pengelola pem-belajaran selayaknya mengembangkan model lain yang lebih cocok dengan memperhatikan berbagai kriteria perancangan dan pengembangan model yang inovatif. Belum tentu suatu model yang cocok diterapkan pada kelas yang sama akan cocok bagi peserta didik yang berkaranteristik berbeda.
Berikut disampaikan kutipan tersebut agar kita dapat mencontoh, mengadaptasi, atau melakukan penelitian eksperimen, dan yakin di mana letak nilai karakter itu dikembangkan dalam suatu model pembelajaran.
(1) Kelompok Model Pengolahan Informasi (The Information Processing Family)
Model-model pembelajaran yang termasuk Model Pengolahan Informasi pada dasarnya menitikberatkan pada cara-cara memperkuat dorongan-dorongan internal untuk memahami dunia dengan menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah, mengupayakan jalan mengatasinya, dan mengem-bangkan bahasa untuk mengungkapkannya. Beberapa model dalam kelompok ini memberikan kepada para mahasiswa sejumlah konsep, sebagian lagi meni-tikberatkan pada pembentukan konsep dan uji hipotesis dan sebagian lainnya memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif. Beberapa mo-del sengaja dirancang untuk memperkuat kemampuan intelektual umum. Pem-belajaran bahasa dan pembelajaran matematika termasuk pembelajaran kogni-tif. Akan tetapi perlu diingat, tidak ada model yang paling baik/efektif atau yang paling buruk/tidak efektif, yang ada hanyalah model yang cocok atau yang tidak cocok. Gurulah yang mengetahui bagaimana kondisi siswa sebelum menerapkan model tertentu. Guru/dosen sebaiknya kaya dengan model-model pembelajaran yang siap diterapkan pada situasi dan kondisi yang tepat. Oleh karena itu guru/dosen sebaiknya merekonstruksi atau mengadaptasi bahkan menciptakan model baru sendiri. Penerapan model melalui eksperimen meru-pakan upaya mengetahui kecocokan suatu model bagi kondisi tertentu.
Banyak model pengolahan informasi yang dapat diterapkan pada sasaran bela-jar berbeda usia yaitu Model
(a) Pencapaian Konsep (Concept Attainment)
(b) Berpikir Induktif (Inductive Thinking)
(c) Latihan Penelitian (Inquiry Training)
(d) Pemandu Awal (Advance Organizers)
(e) Memorisasi (Memorization)
(f) Pengembangan Intelek (Developing Intellect)
(g) Penelitian Ilmiah (Scientific Inquiry)
(2) Kelompok Model Personal (The Personal Family)
Disadari bahwa kenyataan hidup manusia akhirnya terletak pada kesadaran. Manusia mengembangkan kepribadian yang unik dan melihat dunia dari sudut pandangnya yang juga unik sebagai hasil pengalamannya. Pengertian umum merupakan hasil kesepakatan individu yang harus hidup, bekerja, dan mem-bentuk keluarga secara bersama-sama. Model personal beranjak dari pandangan kedirian atau selfhood dari individu. Proses pendidikan sengaja diusahakan untuk memungkinkan dapat memahami diri sendiri dengan baik, memikul tanggungjawab untuk pendidikan dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Kelompok model personal memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang pro-duktif, sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggungjawab atas tujuannya. Termasuk ke dalam kelompok model ini
(a) Model Pengajaran Tanpa Arahan (Non Directive Teaching Model)
(b) Model Sinektiks (Synectics Model)
(c) Latihan Kesadaran (Awareness Training)
(d) Pertemuan Kelas (Classroom Meeting)
(3) Kelompok Model Sosial (The Social Family)
Harus diakui bahwa kerjasama merupakan salah satu fenomena kehidupan ma-syarakat, Dengan kerjasama manusia dapat membangkitkan dan menghimpun energi secara bersama yang kemudian disebut synergy. Kelompok Model Sosial ini dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama. Model ini telah ba-nyak diteliti dalam rangka pengetesan keberlakuannya. Telah dikaji kemanfa-atan dari penggunaan sistem hadiah (cooperative rewards) yang diberikan atas suatu kerjasama, dan struktur tugas kerjasama atau coo-perative task structure dalam suatu kegiatan kelompok. Ternyata belajar bersama dapat membantu berbagai proses belajar walaupun tidak berarti dapat diaplikasikan begitu saja. Yang perlu dicatat adalah sinergy dapat memberikan keuntungan, maka model-model sosial merupakan bagian penting dari proses pembelajaran secara kese-luruhan. Termasuk dalam kelompok model ini
(a) Model Investigasi Kelompok (Group Investigiation)
(b) Model Bermain Peran (Role Playing)
(c) Model Penelitian Yurispsrudensial (Jurisprudential Inquiry)
(d) Model Latihan Laboratoris (Laboratory Training)
(e) Model Penelitian Ilmu Sosial (Social Science Inquiry)
(4) Kelompok Model Sistem Perilaku (The Behavioral System Family)
Dasar teori kelompok model ini ialah teori-teori belajar sosial (Social Learning Teories) Model ini dikenal pula sebagai model Modifikasi Perilaku (Behavio-ral Modification), Terapi Perilaku (Behavioral Therapy), dan Sibernetika (Cybernetics). Dasar pemikiran kelompok model ini ialah sistem komunikasi yang koreksi diri (self-correcting communication system) yang memodifikasi perilaku dalam hubungannya dengan bagaimana tugas-tugas dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Berdasar konsep bagaimana seseorang memberikan respons terhadap tugas dan umpan balik, para ahli psikologi seperti Skinner (1953) telah mempelajari ba-gaimana mengorganisasi struktur tugas dan umpan balik agar dapat diberikan kemudahan agar rasa takut hilang pada diri seseorang, bagaimana belajar mem-baca dan menghitung, mengembangkan keterampilan atletik dan sosial, meng-hilangkan rasa cemas, dan mempelajari berbagai keterampilan intelektual, so-sial, dan fisik yang perlu bagi seorang pilot atau astronout. Oleh karena itu mo-del ini memusatkan perhatian pada perilaku yang terobservasi (overt behavi-our), dan tugas yang diberikan dalam rangka mengkomunikasikan keberhasilan.
Yang termasuk kelompok model ini
(a) Model Belajar Tuntas (Mastery Learning),
(b) Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
(c) Belajar Kontrol Diri (Learning Self Control)
(d) Latihan Asertif (Assertive Training)
(e) Latihan Pengembangan Keterampilan dan Konsep (Training for Skill and Concept Development)
KARAKTERISTIK MODEL
Model-model pembalajaran inovatif memiliki enam karakter umum.
Pertama, asumsi dan tujuan model disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan orientasi model: pengolahan informasi, personal, sosial, atau sistem perilaku.
Kedua, sintakmatik, prosedur, atau langkah-langkah. Ciri ini selalu ada dalam setiap model pembelajaran apapun. perbedaan langkah membedakan model.
Ketiga, Sistem Sosial, yang menjelaskan keterlibatan dan fungsi unsur-unsur lingkungan, kontekstual, muatan lokal, termasuk norma dan aturan yang ber-laku di sekolah.
Keempat, Sistem Interaksi, yang menjelaskan bagaimana proses transaksi dan pengembangan informasi terjadi, bagaimana peran dosen, mahasiswa, asisten, dan petugas nonkependidikan lainnya. Jika dilakukan Model Anjangsana de-ngan kompetensi pembelajaran menulis atau menyunting naskah berita, ber-kunjung ke kantor berita, peran guru membantu siswa bertanya, wartawan atau editor yang menjelaskan dan memberi contoh bagaimana memilih berita.
Kelima, Sistem pendukung, adalah berbagai sarana, alat, media, dan bahan ajar. Bahan ajar atau materi pembelajaran adalah pendukung utama, karena bahan ajar adalah objek yang dipelajari untuk menguasai kompetensi tertentu, misal-nya menyunting berita. Yang menjadi inti pelajaran atau kompetensi yang perlu dikuasai adalah menyunting, sedangkan berita adalah alat untuk melaku-kan atau berlatih menyunting. Sering terjadi salah paham, bahwa yang dituju adalah kualitas beritanya yang disunting.
Keenam, Dampak atau akibat, baik dampak instruksional maupun dampak ikutan atau nurture effect. Ciri inilah sebenarnya yang ingin dikemukakan da-lam wacara pendidikan karakter ini. Nilai karakter itu terjadi sebagai dampak ikutan dari suatu model. Jika disadari oleh guru dan dosen, setiap tindakan se-lalu ada tersembunyi suatu hikmah berupa nilai, manfaat lain selain yang senga-ja perlu dicapai (dampak instruksional). Misalnya Model Diskusi Kelompok da-lam pembelajaran apapun, bukan sekadar tercapainya tujuan menguasai materi diskusi dan dapat melaporkan hasil diskusi. Justru yang lebih penting adalah kemampuan menahan diri bila mendapat kritik, toleransi dan menghargai pen-dapat orang lain, dan sadar diri bila pendapatnya tidak berterima. Itulah nilai didik yang terjadi dalam proses pembelajaran model diskusi kelompok.
|
Perlu dicamkan, dalam pembelajaran apapun
digunakan bahasa Indonesia, karena memang
bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai
bahasa pengantar pembelajaran. Guru sangat
perlu menguasai bahasa yang baik untuk da-
pat menjelaskan maupun untuk pengembang
an nilai didik. Peserta didik perlu memiliki kemampuan membaca, menyimak menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian peserta didik perlu berperilaku berbahasa secara baik kemampuan: menyimak secara cermat, membaca secara efektif, menulis secara teliti, dan berbicara secara santun, serta bersikap pisitif terhadap karya sastra. Dengan demikian seharusnya penguasaan berbahasa dengan nilai-nilai seperti itu sudah dapat membentuk nilai-nilai karakter kecermatan, keefektifan, ketelitian, dan kesantunan.
Pertanyaan berikutnya, apakah pendidikan bahasa berfungsi sebagai sarana un-tuk mempengaruhi, mengembangkan, atau mengubah kualitas karakter peserta didik. Apakah kemampuan berbahasa itu berfungsi sebagai penanda yang me-nunjukkan bahwa peserta didik berkarakter tertentu? Dengan kata lain, apakah dengan belajar bahasa yang baik dan benar sekalipun, kemudian peserta didik menjadi lebih berkarakter santun tertib, bijak bicara. Dengan kata lain, apakah orang yang bahasanya “rapi” demikian itu menunjukkan bahwa ia berkarakter tertentu. Seharusnya juga dapat dijawab bisa. Nilai kecermatan, keefektifan, ketelitian, dan kesantunan yang terus menerus dilakukan dalam berbagai pem-belajaran seharusnya telah menjadi kebiasaan berbahasa yang baik.
Dengan kata lain, apakah dengan menguasai suatu atau beberapa bahan ajar seperti bahasa, sastra, matematika, biologi, fisika, matematika, olah raga, seja-rah, PPKn, dan pelajaran agama dinjamin dapat mengembangkan karakter yang cukup beragam itu. (halaman 8-10). Misalnya, apakah peserta didik yang telah diajari dan dapat menulis kalimat efektif dijamin ia melakukan komunikasi dengan bahasa efektif dalam pergaulannya? Seharusnya bisa, karena sudah mempelajarinya secara efektif, diduga penggunaannya selalu memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan. Bagaimana kenyataannya? Bila dijawab tidak belum atau tidak berhasil, berarti dugaannya yang keliru. Di kelas, berdialog dengan guru mereka berbahasa secara hati-hati, namun begitu di luar kelas kembali kepada bahasa gaul yang dapat merusak kaidah bahasa. Bagaimana di tempat bekerja? Bagaimana jika pekerjaannya itu pejabat, guru, pengusaha.
Contoh lain, apakah siswa yang beragama Islam yang telah “diajari” dan diuji tatacara solatnya dan mendapat nilai sangat baik dijamin ia akan melakukan solat secara tertib dan taat? Memang dapat dijawab: tentu saja bisa, namun sya-ratnya jika orang tuanya membantu, memfasilitasi, selalu mengingatkan dan mengajak melakukannya, lebih-lebih jika anak itu bergaul dengan teman-temannya yang juga taat beribadah. Artinya terjadi kekompokan antara sekolah dan rumah, ada kekonsistenan perlakuan orang tua yang terus menerus. Oleh karena itu sebenarnya bahan ajar, media, dan pembelajaran tidak akan cukup berhasil untuk dapat mengembangkan karakter. Oleh karena itulah pula pendi-dikan bukan sekadar pembelajaran yang hanya di sekolah, bukan karena materi ajarnya. Melainkan karena perlakuannya. Pendidikan merupakan pembiasaan yang dilakukan secara konsisten dan kompak antara berbagai unsur yang ber-sentuhan dengan peserta didik yaitu selain kegiatan dalam pembelajaran dan pendidikan di sekolah berbagai guru, keluarga dan lingkungan, diperlukan sistem kinerja pendidikan yang menjamin kekompakan di antara mereka. Kegagalan pendidikan nilai, bukan karena tidak ada tindakan yang tepat untuk itu, tetapi tidak ada kekompakan.
Bentuk perlakuan pendidikan dan pengajaran yang dirancang secara profesional yang khusus diterapkan untuk tujuan khusus disebut model pembelajaran. Oleh karena kekhususannya itu unsur-unsurnya pun jelas dalam arti terukur. Model pembelajaran memiliki ciri-ciri khusus yang berlaku umum bagi setiap rancang-an yang disebut model pembelajara, seperti diuraikan pada halaman depan (hal.9-10). Itulah struktur model. Diharapkan setiap guru/dosen kaya dengan berbagai model pembelajaran agar dapat menerapkannya sesuai kebutuhan. Bukan jamannya lagi pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu dite-rapkan model yang itu-itu saja.
Misalnya untuk pembelajaran berbicara biasa yang masih dasar bagi mahasiswa dilakukan pelatihan Model Dialog. Mahasiswa ditugasi berdialog memperta-nyakan, menjelaskan, membahas seperti dosen fasilitator dalam perkuliahan, artinya mahasiswa melakukan peer teaching. Model ini seperti meniru guru atau dosen mengelola pembelajaran. Nilai didik yang tercapai adalah memupuk kebiasaan belajar bersama, menghargai pendapat orang lain, dan termotivasi untuk lebih baik dalam penguasaan materinya maupun lebih baik dalam ke-mampuan pengelolaan kelasnya. Dirancang pula Model Ramas dan Rames, model yang disiapkan untuk kuliah kemahiran berbicara retorika bersastra. Model yang meniru, bagaimana jika orang berbicara yang mengekspresikan perasaan gemas, atau berbicara merayu secara mesra. Ternyata model ini ber-manfaat untuk pelatihan bermain drama dan mempengaruhi orang lain. Pem-belajaran dengan model yang dirancang secara kreatif membuat dosen dan mahasiswa terhibur. Model meniru tukang obat jalanan, meniru penyiar ta-yangan olah raga sepak bola, meniru salesgirl, dsb. Sudah cukup contoh model-model pembelajaran yang dapat diadaptasi dan diterapkan untuk pembelajaran bahasa. Dengan demikian pendidikan nilai itu bukan terletak pada materinya, bukan pada metodologinya, melainkan pada kreatifitas gurunya. Model lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan semangat gurulah yang terpenting di antara semuanya itu (Munir,2011: v-vi). Namun pada hemat saya tanpa kemampuan berbahasa semuanya itu tidak ada apa-apa.
Sumber:
Ashman, A.F. & Conway, R.N.F. 1989. Cognitive Strategies for Special Education, New York, dalam Paulina Pannen, 2001.
Barbara Clark. 1983, Growing Up Gifted, Ohio: Merrill Pub. Comp.
Edgen, Paul & Don Kauchak. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan konten dan keterampilan berpikir, Terjemahan Satrio Wahono, Jakarta Barat: PT Indeks
Hafiy bin Syamsi.http://www.scribd.com/doc/77831396.definisi-pendidikan-karakter
0 Response to "CONTOH MAKALAH BAHASA INDONESIA TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER DAN SASTRA"
Post a Comment